Ini adalah sedikit dari kisah pengembaraan ku selama beberapa bulan ini aku menghilang dari dunia blogging. Bukan karena tidak pernah membuka akses ke dunia maya, namun kesibukan membuatku kurang produktif dalam menghasilkan posting untuk aku publikasikan di blog sederhana ini.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 20 September sampai 3 November 2010, aku mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampus. Tak ayal, seorang pemuda Batak Tulen yang didatangkan langsung dari dataran tinggi Batak, tepatnya di kaki Bukit Barisan, harus melebur ke dalam masyarakat desa di Jawa Tengah. Kebetulan sekali, aku ditempatkan di Dusun Pongangan Desa Karangtejo, Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. Dusun ini berbatasan langsung dengan dusun Beji Kelurahan Kedu, yang sekitar agustus 2009 menjadi sorotan publik dengan penangkapan salah satu anggota teroris.


Sebagai seorang batak tulen, tentunya budaya saya berbeda dengan budaya setempat atau budaya Jawa. Saya dengan budaya batak saya yang kental harus bisa saya sesuaikan dengan budaya Jawa yang kental pula. Namun pengalaman tinggal di Jawa selama kurang lebih 3,5 tahun telah mengajarkan saya bagaimana dengan budaya lokal yang ada di sini. Kekhawatiran awalnya muncul, dengan pertanyaan mampukah aku bersosialisasi dengan masyarakat tradisional Jawa?
Dimana bumi dipijak, disitulah langit dijinjing. Ternyata dengan mudah saya bisa menyesuaikan diri. Dengan berbekal bahasa Jawa ngoko secukupnya, aku mampu berinteraksi dengan masyarakat di sana. Banyak hal baru yang dapat aku lihat dan pelajaran selama 45 hari hidup bersama masyarakat dusun Pongangan.
Nuansa pedesaan Jawa yang kental, dengan pemandangan sawah dan ladang. Ditambah lagi dengan kegagahan gunung Sindoro Sumbing. Ada beberapa budaya lokal yang saya anggap unik. Salah satunya adalah budaya makan bersama sebelum memulai g0tong royong. Ketika pembangunan rumah penyimpanan keranda, masyarakat menggelar makan bersama di lokasi tersebut sebelum pembangunan dimulai. Makanannya cukup sederhana, semuanya duduk bersama sambil menikmati makanan seadaannya yang digelar di atas daun pisang.
Kata-kata yang selalu saya ingat ketika bertemu dengan masyarakat desa, Monggo Pinarak mas (Mari Silahkan duduk mas), dan ketika kita sudah masuk ke rumah, sang tuan rumah akan menyediakan teh hangat dan beberapa camilan tradisional sambil mempersilahkan, Monggo ujuk an ne (Silahkan minumannya) lalu monggo di sambi (silahkan dinikmati). Dan ketika pamit akan mengatakan Paring rien nggeh bu/pak.(Pamit dulu ya bu/pak).
Masih banyak hal yang dapat aku pelajari dari mereka. Baik melalui pengamatan saya sendiri maupun dengan bertanya kepada mereka. Kesederhanaan membuat mereka tetap senantiasa mensyukuri apa yang mereka dapatkan. Selalu puas dan mengucap syukur adalah suatu hal yang wajib. Kepedulian terhadap sesama dan saling menjaga. Kemurnian dalam menjalankan dan memelihara tradisi nenek moyang dan iklas dalam menjalankan ajaran agama. Walaupun saya seorang Kristen dan mereka adalah Islam yang taat, mereka sangat menjunjung tinggi toleransi beragama. Hal yang membuatku semakin nyaman dan mencintai desa ini. Bagi ku desa Karangtejo, khususnya dusun Pongangan adalah kampung halaman ku yang kedua setelah Tarutung tercinta.
Melihat kehidupan mereka, saya berkesimpulan bahwa ternyata negeri ini masih ada sisi baiknya. Walaupun kadang aku gerah dengan orang-orang munafik yang gampang kita temui di negeri ini. Tidak perlu lah anggota DPR RI studi banding ke Yunani hanya untuk belajar etika, lebih baik belajar kepada masyarakat desa. Aku yakin mereka akan menemukan dan belajar bagaimana etika masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Dan kepada orang-orang munafik yang selalu menyatakan dirinya paling benar, belajar jugalah dari mereka.