A.    PENDAHULUAN
Al qur’an di turunkan kepada nabi muhammad SAW, melalui malaikat jibril, tidak sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, sering  wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang di lontarkan kepada nabi atau untuk membenarkan tindakan nabi SAW. Di samping itu, banyak pula ayat atau surat yang di turunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu. Dan allah menurunkan wahyu kepada para rasulnya dengan dua cara; Ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.

B.     PEMBAHASAN
1.      Arti wahyu
Al wahy (wahyu) adalah kata masdar (infinitif). Dia menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. inilah pengertian dasarnya (masdar). Tetapi terkadang juga bermaksud al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan.[1] Sedangkan wahyu allah kepada para nabinya, secara syariat mereka definisikan sebagai “kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.
Ustadz muhammad abduh mendefinisikan wahyu didalam Risalah At-Tauhid sebagai “ pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan tanpa suara. Sehingga bedanya antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang di yakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang di minta, tanpa sadar dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang.[2]
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian mashdar. Bagian awal definisi ini  mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf. Tetapi perbedaannya dengan ilham di akhir definisi  tadi menafikan kemiripan ini.

2.      Cara wahyu Allah turun kepada malaikat
Di dalam al-Qur’anul karim terdapat nas mengenai kalam Allah kepada para malaikatnya:
ِاذْ يُوْحِىْ َرُّبكَ ِالَى اْلَملاَ ِئكَةِ اَنِّي َمَعكُمْ َفَثّبَتُوْا الّدَِيْنَ َاَمُنوْا     (الانفل: ) 
"Ingatlah ketika tuhanmu mewahyukan kepada malaikat: ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, teguhkan pendirian orang-orang yang beriman’ “ (al anfal [8]:12)

Nas-nas diatas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu.
Telah nyata pula bahwa Alquran telah dituliskan di lauhil mahfuz,
بل هو قران مجيد, في لوح محفوظ    (ابروجز)
“Bahkan ia adalah Quran yang mulia yang tersimpan di lauhil mahfuz”(al buruj[85]:21-22)

Oleh sebab itu, para ulama’ berpendapat mengenai cara turunya wahyu Allah yang berupa quran pada jibril dengan beberapa pendapat;
a.       Bahwa jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus.
b.      Bahwa jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz.
c.       Bahwa maknanya disampaikan kepada jibril, sedang lafalnya adalah lafal jibril, atau lafal Muhammad SAW.
Pendapat pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh ahlussunah waljama’ah, serta diperkuat oleh hadist nawas bin sam’an;
فصل القران من الد كر فو ضع في بيت العز ة من السما ء الد نيا فجعل جبر يل ينزل بة عل النبي صلى اللة علية وسلم.                                     
                                                                                               
“Telah dipisahkan qur’an dari az Zikr, lalu diletakkan di baitul izzah dilangit dunia, kemudian jibril menurunkannya kepafa nabi saw”.[3]

3.  Cara Wahyu Allah Turun kepada Para Rasul
Allah memberikan wahyu kepada para RasulNYA ada yang melalui perantara dan ada yang tidak melalui peranta.
Yang pertama, melalui jibril, malaikat pembawa wahyu.
Yang kedua, tanpa melalui perantaraan, diantaranya ialah mimpi yang benar dalam tidur.
a.       Mimpi yang benar dalam tidur.
“Dari Aisyah ra, dia berkata; sesungguhnya apa yang mula-mula yang terjadi bagi rasulullah SAW adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu dating bagaikan terangnya pagi hari.”[4]
b.      Kalam illahi dari balik tabir tanpa melalui perantara. Yang demikian itu terjadi pada musa as.
 َوَلمّاَ َجَاءَ مُوْسَىْ ِلِميْقَاِتنَا َوَكلَّمَةُ َربُّةُ َقالَ رَبِّ َاِرِنْي َانْظُرْ ِالَيْكَ   (الاعرف  )                 

 “Dan tatkala musa datang untuk munajat dengan kami di waktu yang telah Kami tentukan dan tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ‘Wahai Tuhan,tampakkanlah Diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-MU’.”(Al-a’rof 143).

Dijelaskan pula dalam Qur’an surat An-nisa’ ayat  164 ;
( النساء )           َوَكلَّمَ اللَّةُ  ُمْوَسْى  َتكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada musa secara langsung.”(An-nisa’ 164).
Demikian pula menurut pendapat yang paling shahih, Allah juga pernah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad SAW pada malam isra’ dan mi’raj.

4. Cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada rasul.
         Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya itu adakalanya tanpa perantaraan, seperti yang telah kami sebutkan di atas, misalnya mimpi yang benar di waktu tidur dan kalam illahi dari balik tabir dalam keadaan jaga yang di sadari: dan adakalanya melalui perantaraan malaikat wahyu.
         Ada dua cara penympaian wahyu oleh malaikat kepada rasul:
         Cara pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor  kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima, menghafal, dan memahaminya.
Cara kedua: malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikian itu lebih ringan dari pada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar.  
         Keadaan jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniannya. Dan tidak pula berarti bahwa zatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang di maksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan rasulullah SAW sebagai manusia.
         Alqur’an di turunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Romadhon tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.[5]
5.  Keraguan Orang-orang yang Ingkar terhadap Wahyu
         Orang-orang jahiliyah baik yang lama atupun yang modern selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Bentuk-bentuk keraguan itu antara lain:
a.       Mereka mengira bahwa Qur’an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan dia sendiri pula yang menyusun ” bentuk gaya bahasanya”; Qur’an bukanlah Wahyu. Ini adalah sangkaan yang bathil.
b.      Orang-orang jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa rasulullah SAW mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kekuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui ilham(inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga Qur’an itu tidak lain dari pada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang di ungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya.
c.       Orang-orang jahiliyah dahulu dan sekarang menyangka bahwa Muhammad SAW telah menerima ilmu-ilmu Qur’an dari seorang guru. Yang demikian itu adalah benar; akan tetapi guru yang menyampaikan Qur’an itu ialah malaikat wahyu; dan bukannya guru dari golongannya dan golongan lain.

6.  Pembahasan lafal  nazzalna dengan angzalna.
      Dengan adanya keraguan terhadap wahyu oleh Orang-orang kafir pada saat itu, maka di jawablah oleh Allah SWT dalam Qur’an surat Al-isro’ayat 105:
وبا الحق انزلنه وبا الحق نزل  (الا سراء)                                       
 “Dan kami turunkan Al-Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur’an itu telah turun dengan membawa kebenaran. (Al-isro’ ayat 105.)

Jadi Al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah SWT yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW, sehingga sekeras apapun orang-orang kafir mengingkarinya, tetap saja bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.
Dari ayat di atas ada perbedaan antara angzala dengan nazala, karena proses turunnya Al-Qur’an kepada nabi Muhammad SAW adalah melalui tiga tahapan, yaitu:[6] 
Pertama, Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah SWT  ke  lauh al-mahfudz[7], yaitusuatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dankepastian Allah SWT. Dan proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. Al-buruj ayat 21-22:
بل هو قران مجيد . في لوح محفوظ  (البروج)                          
 “Bahkan yang di dustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang tersimpan dalam lauh al-mahfudzh.(Q.S Al-buruj 21-22).

Tahap kedua, Al-Qur’an diturunkan dari lauh mahfudz itu ke  bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan oleh Allah dalam surat Al-Qodar ayat 1:
انا انزلنه في ليلة القدر  (القدر)                                        
 Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemulyaan.(Q.S Al-Qodar ; 1)

Tahap ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati nabi dengan jalan ber angsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam surat Asy-Syu’ara ayat 193-195:
نزل به الروح الامين . على قلبك لتكون من المنذرين  . بلسا ن عربي مبين  .(الشعراء)
 
“Dia dibawa turun oleh  ar-ruh al-amin kedalam hati Muhammad agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang member peringatan, dengan bahasa arab yang jelas .(Asy-Syu’ara 193-195).

Dari tahapan turunnya Al-Qur’an terdapat perbedaan antara               lafal انزلنا  dengan نزلنا , pada tahap pertama dan kedua Al-Qur’an turun secara sekaligus atau secara دفعة واحدة     sehingga menggunakan lafal  انزل  ينزل  انزا ل ( turun 30 juz pada malam lailatul qodar), dan pada tahap ketiga Al-Qur’an turun secara ber angsur-angsur, sehingga menggunakan lafal  نزل  ينزل  تنزيل    turun dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari.[8]

C.    Kesimpulan
1.      Wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus di tujukan kepada orang yang di beritahu tanpa diketahui orang lain
2.      Cara wahyu Allah turun kepada Malaikat, ada beberapa nas-nas Al-qur’an dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang di pahami oleh para malaikat itu.
3.      Cara wahyu Allah turun kepada para Rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak melalui perantaraan.
4.      Cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul terdapat dua cara;
·         Cara pertama: Datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi factor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat bagi Rasul.
·         Cara kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara yang demikain itu lebih ringan darai pada cara yang sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar.
5.      Fenomena kewahyuan bagi masyarakat arab pada masa Rasulullah baik yang lama ataupun yang modern selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong.

D.    Penutup
       Demikianlah susunan makalah yang kiranya kami sajikan, kami sadari didalamnya masih banyak kekurangan yang kemungkinan bahasannya kurang mendetail secara keseluruhan, karena sifat penulis yang manusiawi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bermanfaat secara umum pada semua pembaca, sehingga dapat dikaji secara maksimal. Jikalau didapati kekurangan, saran serta kritikknya slalu kami nantikan untuk menjadi evaluasi agar bisa lebih baik lagi nantinya.

E.     Daftar Pustaka
§  Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor: 2001
§  Manna’ Khalil al Qattan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, Pustaka                Al Kautsar, Jakarta;2009
§  Rosikhon Anwar, Ulum Al Qur’an, Pustaka Setia, Bandung:2008
§  Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta:1993


[1]    Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-qur’an, Aunur rafiq El-mazni, jakarta, t.t., hlm. 34.
[2]    Lihat; Al-wahyul Muhammadi/Syaikh Muhammad Rasyid Ridha/44.
[3]  Hadist Hakim dan Ibn Abi Syaibah
[4]   Muttafaq alaih.
[5]    Hudhari Bik, Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami, terj. Muhammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah,1980,hlm 5-6.
[6]      Ibid.,hlm. 45; Subhi Ash-Shahih, Mabahit fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Bairut, 1988, hlm 51.
[7]      Lauh mahfudz adalah sebuah catatan yang di dalamnya terdapat catatan mengenai segala segala sesuatu yang    eksis dan yang ditulis sejak zaman azali.
[8]     Hudhari Bik, Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami, terj. Muhammad Zuhri, Rajamurah Al-Qona’ah,1980,hlm 5-6.