I.       PENDAHULUAN
Kita bangsa indoesia sering menyebut negeri kita sebagai sebuah masyaakat  yang majemuk (plural), disebabkan hampir semua agama, khususnya agama-agama besar (islam, Kristen, hindu, budha) terwakili di negeri ini. Bahkan dalam agama islam sendiri terpecah kedalam bebeapa golongan. Diantaranya adalah Nahdliyyin dan salafiyyin, yang keduanya saat ini banyak sekali pertentangan pendapat. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Pandangan-pandangan ini tidak ada salahnya. Tetapi jika dikehendaki adanya kemampuan untuk menumbuhkan dan memelihara segi-segi positif tersebut itu secara lebih terarah dan adar, maka diperlukan pengertian akan permasalahnya secara lebih substantif
Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Pada makalah ini bahasan kita akan mengupas mengenai bagaimana islam dalam keberagaman umat, dan bagaimana kondisi keberagamaan di masyarakat yang plural ini sehingga bisa beriringan?.
Tujuan dari pembahasan ini, dimaksudkan agar pembaca memahami kondisi masyarakat kita, dan mampu menyikapinya dengan tepat, terutama tentang pentingnya sikap bertoleransi dalam masyarakat yang plural ini. Sebagaimana yang kita ketahui agama adalah hal yang vital yang melekat pada keyakinan pemeluknya. Sedikit perbedaan akan menimbulkan kerenggangan, oleh karena itu pemahaman akan toleransi dirasa  amat penting dalam hal ini.

II.    PEMBAHASAN
A.    PLURALISME MASYARAKAT DALAM TUBUH ISLAM
Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan jumlah pemeluk islam terbesar di dunia. Hal yang cukup menarik mengenai umat islam indonesia ialah bahwa mereka tidak saja dapat dikatakan bahwa seluruhnya terdiri dari kaum suni (ahlu sunnah waljama’ah). Bahkan dalam bidang fikih pun dapat dikatakan bahwa mereka hampir seluruhnya penganut madzhab syafi’i. Ini mengesankan adanya kesatuan Islam Indonesia.[1]
Walupun demikian, kesan tersebut hanya sepintas saja. Pada kenyataannya sudah kita ketahui bersama adanya kemajemukan yang kompleks dan tidak sederhana dalam islam di Indonesia.Tentu saja begitu karena jika kemajemukan adalah ”keputusan ilahi” dan Sunnatullah, maka hukum itu tidak akan memperkacil masyarakat tertentu sepeti masyarakat indonesia.[2]
Umat islam Indonesia mempunai pengalaman tidak saja kemajemukan internal, bahkan dapat dikatakan juga perpecahan dan pertentangan yang acapkali mengalami eskalasi sampai ke tingkat yang berbahaya. Di bidang politik zaman penjajahan, pernah terjadi perbedaan yang cukup tajam antara mereka yang memilih sikap non kooperatif dan kooperatif. Telah kita ketahui bahwa sebagian perbedaan itu, dari sudut sosial keagamaan sering secara salah kaprah dipandang sebagai perbedaan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis. Paradigma tradisionalisme islam bertentangan secara diametral dengan paradigma modernisme yang banyak dianut oleh kaum intelektual. Berbeda dengan tradisionalisme yang memandang tiada kebekuan dalam pemikiran islam, modernisme islam berpendapat bahwa keterbelakangan umat islam disebabbkan oleh stagnasi intelektual dan kebekuan ulama’ dalam memahami islam dan memahami dinamika kehidupan modern. Namun kita ketahui bahwa dalam sejarah umat islam indonesia memang pernah timbul, dan sampai batas waktu tertentu masih terus belangsung gerakan reformasi atau pembaharuan. Apapun makna dari kata-kata dan gerakan itu, sempat menimbulkan gelombang reaksi pro kontra yang gawat. Banyak pepecahan dan pertentangan umat islam dalam bidang-bidang lain, seperti bidang politik,yang dapat ditelusuri sebagai akar dan sebabnya dalam masalah pro kontra reformasi tersebut. Kenyataan itu sebagian masih dapat disaksikan sampai saat ini, dan masih mempengaruhi kalangan tertentu di antara kita. Istilah refomasi sering diartikan oleh agama-agama khususnya islam sebagai pemurnian.
Kontroversi dalam umat tidak hanya terbatas kepada persoalan reformasi atau kontra reformasi. Perpecahan atau skisme klasik islam juga masih menunjukan dampaknya dalam pemahaman islam umat zaman mutakhir ini.
Sesungguhnya percekcokan dalam masyarakat harus dipandang sebagai hal yang wajar. Manusia diciptakan berbeda-beda, dari cara berfikir mereka sampai bentuk kenampakannya. Jalan fikiran mereka mempengaruhi pemahaman atas sesuatu. Dengan demikian tidak ada  masyarakat yang terbebas dari silang selisih.
Terdapat adagium arab yang berbunyi, Ridhon al nas ghayatun la tudrak, artinya kerelaan semua orang adalah tujuan yang tak pernah tercapai.[3]Dari berbagai pemahaman yang berbeda yang dimiliki oleh orang yang juga berbeda wataknya, menunjukan bahwa kesepakatan yang didasari kerelaan adalh tidak mungkin. Yang mungkin terjadi adalah karena keterpaksaan. Kontroversi yang nampak seperti ada dalam bidang pemahaman itu sering secara tersamar antara lain karena tidak diakui oleh yang bersangkutan sendiri bercampur dengan unsur-unsur di luar masalah pemahaman. Unsur-unsur itu disebut juga kepentingan tersembunyi/tertanam, baik pribadi mupun kelompok, yang tebentuk bedasarkan beberapa faktor, diantaranya sosiologis, politis, ekonomis, kesukuan, kedaerahan dan lain sebagainya.
Dalam keadaan yang seperti ini,  sangat dipelukan sekali suatu instropeksi diri atau kelompok secara terbuka dan jujur. Salah satu pendorong terjadinya intropeksi itu adalah adanya kesadaran keumatan yang lebih komprehensif, secara historis dan geografis. Dengan mempelajari hal-hal tesebut diharapkan muncul pemahaman adanya penggolongan-penggolongan di tubuh umat dengan sikap penilaian yang proposional dan seimbang. Kemampuan dan sikap proposional itu, pada urutannya, diharapkan menjadi pangkal bagi pandangan yang lebih apresiatif, yang akan berkembang mmenjadi sikap-sikap respek dan toleran, sehingga muncul sikap saling pengertian.
Diantara sikap pengetian itu, sering dikemukakan oleh para mubaligh dan juru dakwah sebagai Ukhuwah Islamiyah. Ajaran Ukhuwah Islamiyah telah teruaikan dalam surat Al Hujurot(49) ayat 10-14,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ   ﴿١۰﴾  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴿١١﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ﴿١٢﴾ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾ قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿١٤﴾[4]
Artinya;
10. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
14. Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Begitulah ajaran dasar tentang persaudaraan islam, lengkap dengan petunjuk praktis pelaksanannya yang dikaitkan dengan kemajemukan umat, kemudian diteruskan dengan persaudaraan kemanusiaan.

B.     PLURALISME MASYARAKAT DI LUAR TUBUH ISLAM
Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Sebagai contohnya adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban.
Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting. Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas
Salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang, muslim ialah bahwa agama islam adalah agama yang universal, untuk sekalian umat manusia. Meskipun kesadaran serupa juga dipunyai oleh hampir semua penganut agama lain, namun kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada seorang muslim kesadaran tersebut menghasilkan sikap-sikap sosial keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan sikap-sikap keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali setelah munculnya zaman modern dengan ideologi modern ini.[5]
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.

C.     POLA KEBERAGAMAAN
     Jika seseorang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memeluk agama islam       , maka setiap orang menerimanya tanpa keberatan apapun. Demikian pula, ketika seseorang menyampaikan berita bahwa di era reformasi ini terbukti banyak terjadi koupsi, kolusi, nepotisme (KKN), bahkan sampai lapisan masyarakat paling bawah, mereka juga menerimanya, meskipun dengan berat hati. Penyimpulan deduktif yang dilakukan, dengan rumusan secara pasti, bahwa sebagian dari pelaku KKN ini adalah pemeluk ajaran islam, juga terpaksa diterima, bukan hanya alur silogismenya yang koheren tetapi juga naluri mengatakan demikian.[6]
     Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberagamaan di Tanah Air sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari unsur penting, yaitu politik dan kebudayaan. Keduanya memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pola keberagamaan. Di satu sisi, keterlibatan agama dalam politik tidak bisa diabaikan, yang ditandai dengan menguatnya identitas keagamaan dalam ranah politik. Namun di sisi lain, keterlibatan kebudayaan sebagai bagian integral dalam pola keberagamaan tidak bisa diabaikan begitu saja.
     Salah satu contoh yang cukup menarik adalah ekspresi keagamaan orang-orang Jawa. Identitas keberagamaan masyarakat Muslim di Jawa sangatlah plural. Uniknya keragaman tersebut masih eksis hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi keberagamaan ditentukan oleh banyak faktor, baik itu politik, sosial, paham keagamaan, maupun kebudayaan. Potret masyarakat Muslim Jawa yang plural itu akan memberikan warna tersendiri dalam ranah sosial politik, terutama dalam rangka membangun semangat kebangsaan.
Sebagai suatu unsur dalam peubahan sosial, proses aplikasi agama islam dalam transformasi sosial budaya bangsa indonesia dapat diurai menjadi bebeapa satuan analisis. Anatomi sosial ini meliputi ajaran islam itu sendiri , bangsa indonesia yang mengamalkannya dan medan kegiatan yang ditandai oleh gejala transfomasi sosial budaya. Masing-masing satuan analisis ini dapat didudukan dalam lingkungannya sendiri karena berpikir adalah manipulasi lingkungan tanpa aktifitas fisik.[7]
Sunnah sebagai petunjuk al Qur’an dalamm kehidupan praktis, sejak wahyu petama sampai yang terakhir, memiliki tipologi akumulasi perbuatan dan tingkah laku kebeagamaan di semua lapisannya, sehingga lahirlah pola atau manhaj tertentu. Konseptualisasi gejala ini dapat dirumuskan menjadi teminologi Manhaj at Tadayyun al Nabawy. Kaena manhaj tadayyun atau pola keberagamaan ini mampu membei pemecahan masalah konkrit atas poblem masyarakat pemeluk, maka yabg harus ditemui adalah kekuatan yanf terkandung di dalamnya.[8] Masing-masing manhaj memiliki  terdiri atas unsur-unsur diantaranya yaitu lingkup keberagamaan, satuan perilaku beragama, bentuk hubungan antaa satuan satu dengan yang lainnya, tipologi bentuk keseluruhannya.
Selain unsur-unsur tersebut juga ada unsur-unsu yang mungkin sebagai potensi dan sudah dalam wujud aktual, untuk membentuk kekuatan beragama. Unsur pertama adalah proses syahadat yang memang secara langsung menyentuh kebanaran islam. Dalam kondisi seperti ini, maka peluang tumbuhnya khawatir yang berorientasi pada tumbuhnya agama hanya merupakan produk otomatis dalam poses kesadaran seseorang. Unsur lain yang benarbenar menentukan adalah tingkat kualitas dan bentuk penghayatan seseorang akan imannya kepada Allah SWT. Potensi maksimaluntuk membentuk perbuatan dan peilaku beragama akan sangat ditentukan oleh penghayatan yang tidak mengacu kepada eksistensi, melainkan pada peran keberadaan tuhan dalam diri orang beriman.[9]

III.    KESIMPULAN
Pluralitas agama pada dasarnya merupakan sebuah realitas dalam kehidupan dunia. Al-Qur'an mengakui secara tegas adanya pluralitas dalam keberagamaan dalam berbagai aspek kehidupan dengan berbagai argumentasi ayat al-Qur'an.
Dalam hal pluralitas agama, Islam memberikan kebebasan untuk memilih dan meyakini serta beribadah menurut keyakinan masing-masing. Pemilihan sebuah keyakinan merupakan pilihan bebas yang bersifat personal. Kendati  demikian, manusia diminta untuk memilih dan menegakkan agama fitrah.
Meskipun Islam  mengakui adanya pluralitas akan tetapi  menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama). Toleransi dalam Islam tidak berarti pluralisme agama, saling menghargai dan menghormati antar penganut agama atau paham tidak berarti menganggap semua agama adalah sama lebih-lebih dengan mengatasnamakan Islam.
Islam tidak memandang pluralitas sebagai sebuah perpecahan yang membawa kepada bencana. Islam memandang pluralitas sebagai rahmat yang Allah turunkan kepada makhluk-Nya. Dengan pluralitas, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena terdapat kompetisi dari masing-masing elemen untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi tidak membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan.






















DAFTAR PUSTAKA

A.    Kadir, Muslim. 2003.Ilmu Islam Teapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Al Quran Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus : Menara Kudus
Majid, Nurcholish. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PT Tempint



[1] Nurcholis Majid. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PT Temprint. Hal.160
[2] ibid
[3] Ibid. Hal.163
[4] Al Quran Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus : Menara Kudus. Hal.516
[5] Op.cit. Hal.178
[6] Muslim. A. Kadir, 2003.Ilmu Islam Teapan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.103
[7] Ibid. Hal.104
[8] Ibid. Hal. 106
[9] Ibid. Hal. 107