A.       PENDAHULUAN
Kehadiran hadits berfungsi sebagai tabyin wa taudhih terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Tanpa kehadiran hadits, umat Islam tidak mampu menangkap dan merealisasikanhukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an secara mendalam. Dari sini diketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting, namun hadits tidak seperti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi SAW dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Hadits baru ditulis dan dibukukanpada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Kesenjangan waktu antara sepeninggal Rasulullah SAW dengan pembukuan hadits merupakan kesempatan yang baik bagi para orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya untuk membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah SAW, dengan alasan yang dibuat-buat. Inilah yang kemudian disebut dengan hadits maudhu’ atau hadits palsu.

B.       PERMASALAHAN
1.      Latar belakang munculnya hadits maudhu’.
2.      Perkembangan hadits maudhu’.
3.      Usaha para Ulama’ dalam menyikapinya.

C.       PEMBAHASAN
1.      Latar belakang munculnya hadits maudhu’
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, namun juga oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu, antara lain:
a.    Pertentangan Politik
Politik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berpengaruh besar  terhadap perpecahan umat Islam ke dalam beberapa golongan dan kemunculan hadits-hadits palsu. Pada akhirnya, masing-masing kelompok berusaha mencari dalilnya ke dalam Al-Qur’an dan sunnah, dalam rangka mengunggulkan kelompok atau madzhabnya masing-masing. Ketika tidak ditemuinya, maka mereka mulai membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW.
Menurut Ibnu Abi Al-Haddad dalam Syarah Nahj Al-Balaghah , bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadits palsu adalah dari golongan Syi’ah, dan kelompok Ahlussunnah juga menandinginya dengan hadits-hadits lain yang juga  maudhu’.

b.    Usaha Kaum Zindik
Kaum Zindik termasuk golongan kaum yang membenci Islam, baik Islam sebagai Agama atau sebagai dasar Pemerintahan. Mereka tidak mungkin melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam.
c.    Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa dan Pimpinan
Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatic buta serta ingin menonjolkan seseorang, kelompok,bangsa atau yang lainnya. Golongan Asy-Syu’ubiyyah yang fanatik terhadap bangsa Persi mengatakan:
اِنَّ اللهَ إِذَا غَضَبَ أَنْزَلَ الْوَحْيَ بِاالْعَرَبِيَّةِوَإِذَارَضِيَ أَنْزَلَ الْوَحْيَ بِالْفَارِسِيَّةِ
“Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang akan menurunkannya dengan bahasa Persi”
d.    Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan Nasehat
Mereka melakukan pemalsuan ini guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakana terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Seperti:
مَنْ قَا لَ لاَ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَا ئِرًا مِنْقَا رُهُ مِنْ ذَهَبٍ وَوَرِيْشُهُ مِنْ مَرْجَانٍ
“Barangsiapa yang mengucap kalimat Lailahaillallah, Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai balasan dari tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan”
e.    Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut Madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan karena didorong sifat fanatic dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
Diantara hadits-hadits palsu dalam masalah ini adalah:
1) Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah,
2) Jibril menjadi Imamku dalam shalat di Ka’bah, ia membaca basmallah dengan nyaring,
3) Yang junub wajib berkumur dan menghisap air 3 kali,
4) Semua yang ada di bumi dan langit serta yang ada diantara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan Al-Qur’an. Dan kelak aka nada diantara umatku yang mengatakan “Al-Qur’an itu makhluk”. Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka ia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung dan saat itu pula jatuhlah talak kepada istrinya.
 Membangkitkan Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa yang Dilakukan
Banyak diantara para Ulama’ yang membuat hadits palsu dengan dan bahkan mengira bahwa usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah SWT, serta menjunjung tinggi agamaNya. Mereka mengatakan “kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya”.
f.      Menjilat Penguasa
Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadits sebagai pemalsu hadits tentang ”perlombaan”. Matan asli sabda Rasulullah berbunyi:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فىِ فَصْلٍ أَوْخُوْفٍ
Kemudian Ghiyas menambahkan kata أَوْجُناَحٍ dalam akhir hadits tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari Khalifah Al-Mahdy. Setelah mendengar hadits tersebut, Al-Mahdy memberikan hadiah sepuluh ribu dirham, namun ketika Ghiyas membalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurnya seraya berkata  “aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasulullah”. Menyadari akan hal itu, saat itu juga Khalifah memerintahkan untuk menyembelih burung merpatinya.[1]
2.      Perkembangan Hadist Maudhu’
Pada mulanya para mutakallim bersilang pendapat tentang benar tidaknya terjadi pemalsuan didalam hadist, jika dilihat dari segi periwayatannya. Ibnu khatsir mensinyalir bahwa,  sebagian para mutakalim menolak adanya anggapan bahwa bisa saja terjadi pemalsuan hadist secara menyeluruh. Adapun sebagian lainnya menyatakan bahwa bisa saja terjadi pemalsuan didalam hadist apabila didasarkan pada fakta empirik sejarah masyarakat Islam, memang telah terjadi pemalsuan dalam riwayat hadist yang banyak beredar di masyarakat. Hal ini terbukti setelah dilakukan penelitian para Ulama Muhadistin.
Namun kemudian, persoalan muncul tentang batasan masa awal permulaan terjadinya pemalsuan hadist maudhu’ dan munculnya hadist-hadist palsupun diperselisihkan para Ulama Muhaditsin. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat dikalangan para muhaditsin:
Pendapat pertama, menyatakan bahwa pemalsuan hadits dan munculnya riwayat hadits maudhu’ mulai terjadi sejak periode nabi Muhammad SAW. Pendapat ini dianut oleh Ahmad Amin dan Hasyim Ma’ruf Asy-Syi’i. Argumen kedua Ulama’ ini didasarkan pada konsekuensi logis atas sinyalemen hadits nabi yang mengungkapkan ancaman keras terhadap semua orang yang berupaya melakukan pendustaan pada diri Nabi. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu pernyataan haditsnya:
حَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُ عُبَيْدِالْغُبَرِي حَدَّثَنَاأَبُوْعَوَانَةَعَنْ أَبِيْ حَصِيْنٍ عَنْ أبِيْ صَالِحٍ عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَر.ع.قَالَ:قَالَرَسُوْلُ اللهِ ص.م.:مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Muhammad bin Ubaid Al-Ghubari menceritakan kepadaku bahwa Abu Awanah dari Abu Hashin, dari Abu Sholeh dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, bahwa Rasulullah SAW.bersabda, “barang siapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka.”
Pendapat kedua, menyatakan bahwa pemalsuan hadis baru terjadi pada tahun 40 H dan berkembang pada masa sesudahnya. Pendapat ini diungkapkan oleh Akram Al-Umari. Ia menyatakan bahwa gerakan pemalsuan hadits mulai terjadi sejak paruh kedua dari kekhalifahan Umar bin Affan. Pada paruh kedua ini timbul situasi yang sangat caos,timbul pertentangn dan perpecahan dikalangan umat islam (al-fitnah) sehingga sebagian masyarakat terbagi-bagi dalam menghadapi Ustman. Selain itu timbul fitnah yang membara untuk memerangi Ustman dan muncul sifat dendam dan hilangnya sifat keikhlasan.
Pendapat demikian dikuatkan juga oleh beberapa riwayat palsu yang pernah beredar dan berasal dari kalangan sahabat. Diantaranya adalah riwayat Ibnu Addis yang meriwayatkan ucapan Rasulullah SAW. Bahwa وَنَعْلُ عُثْمَانَ أَضَرُّمِنْ عُبَيْدَةَ (sandal Utsman lebih sesat dari ‘Ubaidah). Dengan riwayat ini, bisa diduga bahwa Ibnu  Addis adalah orang pertama yang melakukan pemalsuan hadits.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa pemalsuan hadits  mulai terjadi pada akhir abad pertama hijriyah. Pendapat ini diungkapkan oleh Abu Syuhbah dan Abu Zahu. Kedua tokoh ini mengambil dasar pendapatnya dari masa penyusupan musuh-musuh isllam ketika umat islam melemah dan mulai terjadinya masa al-fitnah(kekacauan) pada periode kepemimpinan Ustman. Dalam masa ini dimanfaatkan oleh kaum Zindiq dengan menghembuskan paham yang saling mengadu domba. Situasi ini terjadi pada tahun ke-41 H, pada masa akhir kepemimpinan Ustman bin Affan.[2]
3.      Usaha Para Ulama’ dalam Memberantas Hadits Palsu
Melihat munculnya hadits-hadits palsu, para ulama tidak tinggal diam. Mereka melakukan segala usaha dan upaya untuk memberantas hadits palsu. Diantaranya adalah:
a.    Berpegang pada sanad
Karena berpegang pada sanad, seorang perawi dapat mengetahui atau mengecek kembali apakah perawi sebelumnya itu termasuk tsiqah atau tidak.
b.    Ketelitian dalam meriwayatkan hadits
Disamping sanad, para ulama mulai zaman Thabi’in  hingga  zaman setelah mereka sangat teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan hadits.
c.    Memerangi para pendusta dan tukang cerita
Para ulama hadits juga memerangi para pendusta hadis dan tukang cerita yang dikenal gemar memasukkan hadits dengan cara menjelaskan dan mewanti-wanti meraka agar jangan mendekati dan mendengarkan mereka. Ulama hadits juga menerangkan hadits-hadits maudhu’ tersebut pada para muridnya dan mengingatkan mereka untuk tidak meriwayatkan hadits-hadits palsu tersebut.
d.    Menjelaskan ”status” perawi hadits
Terkadang perawi hadits harus menjelaskan mengenai keadaan perawi hadits yang diriwayatkannya, sejarah hidupnya, guru-gurunya, murid-muridnya, perjalanannya dalam menuntut hadits, dlsb.
e.    Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits  palsu
Misalnya saja dengan mengetahui batasan-batasan hadits shahih, hasan dan dha’if.[3]
D.       KESIMPULAN
Dari beberapa motif pembuatan hadits palsu diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Adanya faktor kesengajaan dan ada yang tidak sengaja merusak agama,
Ada yang karena keyakinannya membuat hadits palsu diperbolehkan,
Ada yang karena tidak tahu bahwa dirinya membuat hadits palsu.
Meskipun demikian, alasan apapun yang dikatakan, bahwa membuat dan meriwayatkan hadits palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan, karena hal inni sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, seperti yang telah disebutkan dahulu.
Juga mengenai awal kemunculan hadits maudhu’ ini, para Ulama’ muhaditsin mempunyai silang pendapat antara yang satu dengan yang lainnya.
Meski demikian, para Ulama’ tidak tinggal diam. Mereka memberikan kepada kita acuan untuk menilai hadits, apakah ia layak digunakan atau tidak.   

E.        PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan, apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun penyampaian, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan makalah yang akan datang.

F.        DAFTAR PUSTAKA
v  kapanpunbisa.blogspot.com/2001/09/10/usaha-para-ulama-dalam-memberantas.html?spref=f6
v  Najib, Mohammad, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadis Maudhu,  Bandung:Pustaka Setia, 2001, cetakan I.
v  Supana Mundzier, Ilmu Hadits, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cetakan III.



[1] Drs. Mundzier Supana,MA., Ilmu Hadits, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, cetakan III, 2002, hal.181-189
[2] Dr. Mohammad Najib, Pergolakan Politik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadis Maudhu, cetakan I, Bandung:Pustaka Setia, 2001, hal.48-51.
[3] kapanpunbisa.blogspot.com/2001/09/10/usaha-para-ulama-dalam-memberantas.html?spref=f6