A.   Pendahluan
Islam seperti halnya agama lain, sering menimbulkan persepsi yang berbeda-beda pada para pemeluknya, sehingga tidak terhindar munculnya berbagai aliran , paham, ajaran, mazdhab atau sekte dlam agama islam, yang merupakan akibat dari pemahaman yang berbeda tersebut. Dalam agama hindu misalnya, terlihat jelas adanya tiga aliran atau sekte besar yaitu sekte Brahma, sekte Syiwa, sekte  Wisnu. Dalam agama Kristen juga kita lihat muncul tiga aliran besar, yaitu Katolik, Ortodoks, Protestans.
Sebetulnya jumlah aliran atau paham yang berkembang di Indonesia itu banyak sekali, meskipun demikian hanya akan dibahas beberapa saja dari mereka karena alas an yang berbeda.

 

B.   Pembahasan
Sejarah Islam
Kajian Islam terbagi kepada berbagai bidang ilmu yang antara lain adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu tawhid, ilmu kalam,
dan ilmu fikih. Ilmu kalam membahas tentang Tuhan, rasul-rasul, wahyu, akhirat, iman dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ilmu kalam disebut juga ilmu usuluddin, dan teologi. Dalam mengkaji dan membahas materi ilmu kalam ini terdapat bermacam-macam cara memahaminya di kalangan umat Islam. Paham yang lahir dari suatu cara memahami materi ilmu kalam ini dalam bahasa Arab disebur firqah yang jamaknya firaq. Firqah
dalam bahasa Indonesia disebut aliran. Aliran-aliran dalam ilmu kalam disebut dalam bahasa Arab al-firaq al-Islamiyah. Untuk aliran dalam fikih disebut mazhab. Namun, belakangan penggunaan sebutan-sebutan ini sudah tidak terlalu ketat lagi sehingga kata mazhab kadang-kadang sudah digunakan oleh sementara orang untuk maksud aliran dalam ilmu
kalam. Persoalan yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah persoalan di bidang politik. Waktu Nabi Muhammad Saw. wafat, muncul persoalan siapa yang berhak menjadi penggantinya sebagai khalifah. Menurut sejarah, Abu Bakar disetujui menjadi Khalifah pertama. Khalifah kedua, Umar, ketiga Usman,dan keempat Ali. Terbunuhnya Usman dan naiknya Ali menjadi Khalifah keempat kemudian menimbulkan masalah.[1]
            Pada tahun 37 H, terjadi perang antara Ali sebagai Khalifah dan Muawiyah sebagai Gubernur Syam. Perang ini terjadi di Siffin sehingga perang ini dikenal dengan perang Siffin. Karena pasukan Muawiyah terdesak dan sudah siap untuk mundur, tangan kanannya yang terkenal licik, Amr ibn al Ash minta berdamai dengan mengangkatkan Al-Quran ke atas. Para qari di barisan Ali minta agar perdamaian itu diterima Ali. Ali dan sebagian pengikutnya keberatan. Tapi, karena desakan, akhirnya Ali menyetujuinya. Disepakati bahwa Abu Musa alAsyari mewakili Ali dan Amr ibn Ash mewakili Muawiyah. Dengan alasan menghormati orang tua Amr meminta Abu Musa lebih dahulu berdiri memakzulkan Ali dan kemudian Amr memakzulkan Muawiyah. Setelah Abu Musa memakzulkan Ali, Amr berdiri mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah.
Kekacauan terjadi. Pasukan Ali yang sejak semula tidak setuju dengan perdamaian tipu itu keluar dari barisan Ali dan menjadi penentangnya dan sekaligus penentang Muawiyah. Kelompok yang keluar ini disebut Khawarij.
Mereka memandang Ali, Muawiyah, Abu Musa, Amr ibn alAsh dan orang-orang yang setuju dengan perdamaian yang disebut dalam sejarah arbitrase sebagai kafir. Tak berapa lama, Khawarij ini pecah pula
kepada beberapa sekte yang antara satu dengan lainnya saling mengkafirkan dan menghalalkan darahnya. Persoalan kafir pun berkembang. Kalau tadinya kafir itu berarti orang yang tidak berhukum kepada Al-Quran, maka kemudian
pelaku dosa besar (murtakib alkabirah), yakni pembunuh Usman pun dihukum kafir. Ternyata, persoalan ini menimbulkan tiga aliran.[2]
            Pertama Khawarij yang memandang pelaku dosa besar kafir. Kedua aliran Murjiah yang memandang pelaku dosa besar tetap mukmin dan hukumannya ditangguhkan kepada Mahkamah Allah untuk mengampuninya atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran Muktazilah yang memandang pelaku dosa besar berada di antara dua posisi mukmin dan
kafir (almanzilah bain almanzilatain). Di luar tiga golongan ini, masih tinggal golongan yang mengikuti paham mayorita sumat.
Islam yang kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah waal Jamaah. Al Hasan al Basri (w. 110 H) Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) adalah di antara tokoh-tokoh Ahlus Sunnah.
Paham Ahlus Sunnah ini kemudian dipertegas oleh Abu al Hasan al Asyari (w. 330 H).Menurut dia, Allah mengetahui dengan ilmu, hidup dengan hayah, menghendaki dengan iradah. Ilmu Allah esa dan ta‘alluq
(berobjek) kepada segala yang maklum. Setiap yang wujud dapat dilihat. Karena itu, Allah dapat dilihat karena Ia wujud.
Pelaku dosa besar jika tidak taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah. Manusia mujbar (terpaksa), tetapi Allah memberi kasab baginya. Alquran adalah kalam Allah yang qadim. Selain Abu al Hasan al Asy‘ari, dikenal pula Ahmad at Tahawi (322 H) di Mesir dan Abu Mansur al Maturidi as Samarkandi (333H) yang ketiganya disebut dalam sejarah sebagai pendiri aliran Sunni. Namun karena antara mereka terdapat juga perbedaan, maka yang lebih tepat paham mereka dibanggakan kepada masing-masing. Misalnya, paham Asyariyah, paham Maturidiyah dan
paham Tahawiya. [3]
Pendiri paham Mutazilah adalah Wasil ibn Ats (w. 131 H) di Basrah. Ia adalah murid al Hasan alBasri. Ketika mendiskusikan hukum pelaku dosa besar, Wasil berdiri dari majlis alHasan dan pergi ke satu sudut dari
Masjid Basrah.Di sana ia berkata bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak Mukmin, melainkan almanzilah bain almanzilatain (posisi di antara dua posisi). Sejak itu, paham ini berkembang menjadi satu aliran. Di atas telah disebutkan pokok ajaran mereka.
Menurut mereka, Al-Quran makhluk, manusia berbuat dengan kehendaknya sendiri, tidak ada takdir, Tuhan tidak dapat dilihat, mengutus Rasul wajib bagi Allah. Sebagai pengaruh penggunaan akal yang semakin besar dalam memahami nas, muncul pula paham Qadariyah dan
Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat (free will and free act). Orang pertama berpaham Qadariyah adalah Mabad alJuhani yang terbunuh pada tahun 80 H. Menurut
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (predestination atau fatalism). Orang pertama berpaham Jabariyah adalah Jad ibn Dirham (w. 124 H). Kemudian, paham ini dikembangkan oleh muridnya Jahm ibn Safwan yang dihukum mati dan dibunuh pada tahun 127H karena menurut dia sorga dan neraka akan binasa atau tidak kekal. Sekarang Agus Mustafa lahir di Indonesia membawa paham Jahm ibn Safwan ini dalam bukunya yang berjudul, Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Pendukung Ali dalam bahasa Arab disebut Syiah Ali. Syiah Ali juga membentuk aliran yang memiliki paham yang berbeda dengan lainnya. Syiah pun memiliki sekte-sekte. Ahlus Sunnah pun bermacammacam pula yang pada garis besarnya ada dua, Salaf atau Salafi dan Khalaf. Paham Salaf diwakili Imam Ahmad ibn Hambal (w.241 H), Abu al Hasan al Asy‘ari (w. 330 H) dan Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H), sedang paham Khalaf diwakili al Baqillani (w.403 H) dan al Juwaini (w. 478 H). Perbedaan pokok antara Salaf dan Khalaf adalah soal takwil.[4]
Takwil berarti memberi makna kepada nas Alquran dan Hadis dengan makna yang jauh, tidak makna zahirnya. Misalnya, yadullah diartikan oleh Salaf dengan tangan Allah Khalaf mengartikannya dengan kekuasaan Allah
 Demikianlah lahir dan berkembang aliran-aliran dalam Islam. Masing-masing berkembang menjadi sekte-sekte. Sebagian sekte ini masih dalam lingkaran Islam dan sebagian lagi sudah tergelincir dari Islam. Misalnya,sekte Ajaridah dari Khawarij tidak mengakui surat Yusuf sebagi bagian dari Alquran. Sebab, menurut mereka cerita porno tidak layak menjadi isi Kitab Suci Alquran. Sekte Sabaiyah dari Syiah yang berpendapat bahwa
wahyu itu seharusnya diturunkan kepada Ali, tetapi Jibril tersalah menurunkannya kepada Muhammad Saw. Tentunya paham-paham seperti ini sudah tergelincir dari Islam.

Beberapa Aliran Islam di Indonesia
v  Lembaga Dakwah Islam Indonesia
adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Pada kurun waktu 13 Januari 1972 sampai tahun 1990, organisasi ini bernama LEMKARI. Pada tahun 1990 saat berlangsungnya Musyawarah Besar LEMKARI ke IV di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, oleh Rudini, Menteri Dalam Negeri saat itu, organisasi ini diubah namanya menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dengan alasan agar namanya tak tertukar dengan Lembaga Karatedo Indonesia yang juga memakai nama LEMKARI. LDII memiliki perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di setiap provinsi di Indonesia, 407 DPD Kota/Kabupaten, 4500 Pengurus Cabang (PC) dan ribuan masjid yang tersebar di seluruh Indonesia. Ketua Umum LDII saat ini adalah Prof.Riset.Dr.Ir. KH. Abdullah Syam, MSc
Di dalam mengajarkan ilmu Alqu'ran dan Alhadits, LDII tidak menggunakan sistim kelas seperti pada umumnya. Metode penyampaian guru membacakan Al Quran,mengartikannya secara kata per kata dan menafsirkannya dengan dasar penafsiran dari hadits yang berkaitan dan penjelasan beberapa ahli tafsir, misalnya tafsir Ibn Katsir. Murid-murid mencatat arti kata-per kata di Al Qurannya dan juga penjelasan tafsirnya. Untuk AL Hadits cara yang sama diajarkan, dimana guru dan murid sama-sama memegang hadits yang sama dan melakukan kajian. Hadits yang dipelajari adalah utamanya hadits kutubussittah (Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Timidzi, Ibn Majah) dan juga hadits lainnya seperti Malik al Muatho, dan musnad Ahmad., disamping itu mereka juga mempelajari himpunan hadit sesuai temanya, sepeti kitab salat yang berisi tatacara salat sesuai ajaran Nabi Muhammad yang tertulis dalam beberapa sumber hadits, kitab puasa (shoum), kitab manasik haji, dan lain-lain. Dengan mempelajari hadits secara langsung dari kitab aslinya berarti secara langsung mengetahui suatu hadits apakah shohih atau lemah, sehingga terhindar dari rusaknya ilmu dan amal mereka.[5]
v  Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”[6]

v  Nahdlotul Ulama’
            Jauh sebelum jam’iyah NU berdiri di Indonesia sudah banyak kelompok-kelompok kaum muslimin di bawaah binaan kyai/ ulama’. Kemampuannya dalam ilmu  hadits,  diwarisi  dari  gurunya,  Syekh Mahfudh  at-Tarmisi  di  Mekkah.  Selama  7  tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal  Pacitan,  Jawa  Timur  itu.  Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru  besar  itu  pulalah  Kiai  Ahmad Dahlan,  pendiri  Muhammadiyah, berguru.  Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
         Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar  di  Mekkah,  Muhammad Abduh   sedang   giat-giatnya   melancarkan  gerakan  pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui,  buah  pikiran  Abduh  itu   sangat   mempengaruhi   proses   perjalanan   ummat   Islam selanjutnya.  Sebagaimana  telah  dikupas  Deliar  Noer,  ide-ide reformasi  Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir,  telah  menarik  perhatian  santri-santri  Indonesia  yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
         Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam  untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi  pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali  doktrin  Islam  untuk  disesuaikan   dengan   kebutuhan- kebutuhan  kehidupan  modern;  dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha  Abduh  merumuskan  doktrin-doktrin  Islam  untuk  memenuhi kebutuhan  kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab  yang  lebih  besar  dalam lapangan  sosial,  politik  dan  pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide  agar  ummat  Islam  melepaskan  diri  dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek  tarekat.   Syekh  Ahmad Khatib  mendukung  beberapa  pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib  ketika  kembali ke  Indonesia  ada  yang  mengembangkan  ide-ide  Abduh  itu.  Di antaranya  adalah  KH  Ahmad  Dahlan  yang  kemudian   mendirikan Muhammadiyah.
         Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh  untuk  menyemangatkan  kembali  Islam,  tetapi  ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri  dari  keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran  al-Qur'an  dan  Hadist tanpa   mempelajari   pendapat-pendapat  para  ulama  besar  yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk  menafsirkan  al-Qur'an  dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan  saja  dari  ajaran-ajaran Islam   yang  sebenarnya,  demikian  tulis  Dhofier.   Dalam  hal tarekat, Hasyim  tidak  menganggap  bahwa  semua  bentuk  praktek keagamaan  waktu  itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam  berhati-hati  bila  memasuki kehidupan tarekat.
         Dalam  perkembangannya,   benturan   pendapat   antara   golongan bermazhab   yang  diwakili  kalangan  pesantren  (sering  disebut kelompok tradisional),  dengan  yang  tidak  bermazhab  (diwakili Muhammadiyah  dan  Persis,  sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres  Al Islam  IV  yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat  Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena  aspirasi  golongan  tradisional  tidak   tertampung   (di antaranya:   tradisi   bermazhab  agar  tetap  diberi  kebebasan, terpeliharanya  tempat-tempat  penting,  mulai  makam  Rasulullah sampai  para  sahabat)  kelompok  ini  kemudian  membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah  Wahab  Chasbullah  ini bertugas   menyampaikan   aspirasi  kelompok  tradisional  kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite  inilah  yang pada  31  Februari  l926  menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
             Setelah  NU  berdiri  posisi  kelompok  tradisional  kian   kuat. Terbukti,  pada  l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan  Islam  Indonesia  yang  terkenal dengan  sebuta  MIAI  (Majelis  Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin  Masyumi,  partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.[7]
v  Ahmadiyah
         Gonjang-ganjing Jemaah Ahmadiyah Indonesia sedang mencapai puncaknya akhir-akhir ini; berbarengan dengan usia organisasi damai ini yang sedang mencapai 100 tahun, juga bertepatan dengan 100 tahun Kebangkitan Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jemaah Ahmadiyah berada hampir di 190 negara di dunia, termasuk sudah 83 tahun mereka berada di Indonesia . Di Bulan Mei pada tahun ini, jemaah Ahmadiyah di seluruh dunia mensyukuri 100 (27 Mei 1908 – 27 Mei 2008) tahun usia berdirinya Khilafat Akhir Zaman yang di emban oleh komunitas paling sabar ini. Di dirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Al-Masih Mau’ud-Imam Mahdi-Isa Al-Masih yang di janjikan, di nubuatkan oleh Nabi/Rasul yang paling mulia seantero dunia Nabi Besar Muhammad Rosulullah SAW di 1400 tahun silam. Di tanggal 26 Mei 1908 Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat, lalu sehari kemudian, 27 Mei 1908 di teruskan oleh Khalifah ke satu Hazrat Hakim Nuruddin, lalu kedua, ketiga, keempat dan sekarang komunitas kerohanian ini di pimpin oleh Khalifah kelima Hazrat Masroor Ahmad. Komunikasi searah di lakukan oleh pemimpinnya melalui saluran televisi (MTA- Muslim Televisi Ahmadiyah) yang dapat di terima dengan jernih melalui teknologi murah antena parabola di seluruh permukaan bumi, tidak tanggung-tanggung 24 jam penuh tanpa iklan, mereka memancarkan siaran dengan menyewa 7 (tujuh) satelit di luar angkasa sana, siapapun dapat melihat perkembangan komunitas ini yang benar-benar memperlihatkan organisasi Islam yang sejuk, damai dan indah. Di seluruh dunia komunitas Ahmadiyah mencapai kurang lebih 200 juta orang; hampir sama dengan penduduk Indonesia . Negara yang paling banyak pengikut ini ada di daerah asal Hazrat Bilal yaitu di belahan benua Afrika, kemudian di benua Eropa, di antaranya negara Perancis, Inggris, Belanda, Italia, German; di benua Eropa ini orang-orang berbondong-bondong mulai melirik Islam yang Rahmatan lil alamin, di benua Amerika, juga kawasan Arab tidak ketinggalan, lalu di benua Asia yang paling banyak berada di India sendiri, kemudian Pakistan dan di Indonesia ada sekira 500 ribu. Dakwah Ahmadiyah di seluruh dunia adalah menyampaikan misi yang disyariatkan kepada Yang Mulia Nabi Besar Muhammad Rosulullah SAW, yaitu mencapai Kemenangan Islam di Akhir Zaman ini, lalu bagaimana Kemenangan Islam yang di syiarkan oleh Ahmadiyah itu? Syiar Kemenangan Islam itu bukanlah memenangkan dan merebut sebuah bangunan mesjid, sebidang tanah atau harta benda. Kemenangan ini bukan melalui sebuah pertempuran yang dimenangkan di laut, udara atau daratan. Kemenangan ini bukan melalui sebuah peperangan diatas hamparan gurun Mesopotamia atau pegunungan Afghanistan . Kemenangan ini bukan kemenangan melawan suatu kelompok tertentu. Bukan, sama sekali bukan! Yang dimaksud dengan kemenangan Islam ini ialah menaklukkan hati. Yaitu menaklukkan dan meyakinkan setiap orang agar ia sadar bahwa ia mempunyai Khaliq Sang Pencipta, yang telah menciptakan orang tersebut supaya menyembah Dia Sang Pencipta.
         Kemenangan ini ialah untuk melatih seseorang agar belajar tidak mementingkan diri sendiri, agar belajar bermurah hati dan berbudi luhur, dan kasih sayang. Bagi jemaah Ahmadiyah adalah suatu keberhasilan atau prestasi jika seseorang telah belajar berkorban demi kepentingan orang lain (donor darah, donor mata, dll), apabila seseorang telah merasa simpati kepada orang miskin, kepada orang yang tidak mampu dan kepada orang sakit, apabila seseorang telah belajar berkorban dan menolong orang lain siapapun di dunia ini. Apabila ia mempunyai hasrat, ia hanya berhasrat untuk memohon pengampunan dari Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan kemenangan Islam.  
         Jemaah Ahmadiyah melakukan Jihad yang membawa pesan-pesan perdamaian. Jihad atau peperangan mereka dilancarkan untuk kebaikan generasi yang akan datang. Peperangan mereka dilancarkan untuk melawan ketamakkan dan sifat mementingkan diri sendiri. Peperangan mereka dilancarkan untuk melawan segala bentuk kekejaman, terrorisme dan kebodohan. Peperangan mereka dilancarkan untuk melawan kemiskinan. Peperangan mereka semata-mata dilancarkan melawan philosophy perang itu sendiri, perang melawan hawa nafsu sendiri, dan peperangan ini dilancarkan untuk mencapai melatih seseorangdengan cara-cara penuh dengan sifat maaf, penolong dan keunggulan perdamaian.[8]

C.    Kesimpulan
         Aliran-aliran dalam agama itu islam itu di sebabkan karena beberapa perbedaan madzhab, sekte, paham, aliran. Kaum muslimin mempunyai beberapa perbedaan yang sudah timbul sejak zaman Nabi Muhammad SAW, diantaranya berdiri aliran Syiah, aliran Khawarij, aliran Mu’tazilah, Aliran Jabariyah, dll. Serta di Indonesia juga agama islam mempunyai beberapa aliran yaitu Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama’, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Ahmadiyah.
         Terjadinya perbedaan disebabkan karena beberapa factor diantaranya factor politik, teologi, fikih, maupun alasan lain yang lebih spesifik.














Daftar Pustaka

Abdul Hakim, Atang.1999.Metodologi Studi Islam.Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset
http://didithadibarianto.wordpress.com/2008/05/14/fakta-dan-sejarah-ahmadiyah
Su’ud, Abu.2003.Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam peradaban umat manusia. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
Tibi, Bassam.1999.Islam dan Kebudayaan dan Perubahan Sosial.Yogyakarta : PT Tiara Wacana
www.ldii.or.id/...ldii.../78-bagaimana-sejarah-berdirinya-ldii.html


[1] Tibi, Bassam.1999.Islam dan Kebudayaan dan Perubahan Sosial.Yogyakarta : PT Tiara Wacana
[2] Abdul Hakim, Atang.1999.Metodologi Studi Islam.Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset
[3] Tibi, Bassam.1999.Islam dan Kebudayaan dan Perubahan Sosial.Yogyakarta : PT Tiara Wacana
[4] Ibid,hlm 27
[5] www.ldii.or.id/...ldii.../78-bagaimana-sejarah-berdirinya-ldii.html
[7] Su’ud, Abu.2003.Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam peradaban umat manusia. Jakarta : PT RINEKA CIPTA
[8] http://didithadibarianto.wordpress.com/2008/05/14/fakta-dan-sejarah-ahmadiyah