I.          Pendahuluan
Pada masa kehidupan Imam-Imam Madzhab yaitu antara tahun 100 sampai dengan 250 Hijriyah, belum ada persoalan taqlid karena seluruh Imam Madzhab mendorong dan menganjurkan seluruh kaum muslimin agar menuntut ilmu Agama Islam. Sampai dapat melakukan ijtihad. Dengan demikian setiap muslim akan dapat melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengann petunjukAl-Qur’an dan Hadits. Karena itu tidak ada pendapat para Imam Madzhab yang langsung berhubungan dengan taqlid. Yang ada hanyalahagar melakukan segala ibadah sesuai Al-Qur’an dan Hadits.
 Mereka sangat mencela yang suka ikut-ikutan dan terlalu mengagungkan seseorang sehingga semua perkataan dan perbuatannya diikuti, sekalipun perkataan dan perbuatan itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits serta tidak pernah dikatakan atau diperbuat oleh Nabi SAW.

II.       Pembahasan
A.     Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya ialah bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedangkan apabila kita meneliti makna kata jahada artinya ialah mencurahkan segala kemampuan.
Dengan demikian, ijtihad menurut bahasa yaitu berusaha atau berupaya yang bersungguh-sungguh. Perkataan ini tentu tidak akan digunakan di dalam sesuatu yang tidak mengandung kesulitan dan kebenaran.
Kemudian di kalangan para Ulama’ perkataan ini khusus digunakan dalam pengertian yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hokum (al-faqih) dalam mencari tahu tentang hokum-hukum syariat. Jadi dengan demikian, “ijtihad” itu ialah perbuatan istinbath hukum syariat dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syariat.




Kedudukan Ijtihad
Ketetapan adanya ijtihad merupakan pokok syariat, dapat diketahui baik dengan isyarat ataupun dengan jelas-jelas di dalam ajaran agama, yaitu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sahabat Abu Bakar sebagai diriwayatkan oleh Ibnu Hazmin dalam al-Ihkam  fi Ushulil Ahkam, apabila dalam menghadapi sesuatu dan tidak mendapatkan penyelesaiannya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, beliau melakukan ijtihad. Para sahabat yang lain juga melakukan demikian seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syarotsani.

Syaikh Muhammad Khudloriy di dalam kitabnya Ushulul Fiqh, mengemukakan hukum-hukum ijtihad sebagai berikut :
1.      Wajib ‘ain, yakni bagi seseorang yang ditanya akan sesuatu peristiwa, dan peristiwa itu akan hilang sebelum diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia sendiri pun mengetahui hukumnya.
2.      Wajib Kifayah, apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu tersebut tidak hilang sebelum diketahui hokum-hukumnya, dan disamping itu ada mujtahid yang lain. Apabila ada seorang mujtahid atau seorang yang berijtihad dan telah menyelesaikan persoalan hukum tersebut, maka gugurlah kewajiban tersebut atas orang lain. Akan tetapi apabila tidak ada seorang pun yang berijtihad dari kalangan mujtahidin, maka mereka semua berdosa.
3.      Sunnah, yakni hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik itu ditanyakan maupun tidak. Di dalam hal ini lebih-lebih apabila yang dikemukakan tersebut tidak akan terjadi
            Dengan demikian jelaslah kepada kita, bahwa ijtihad sangatlah diperlukan sekali oleh syariat, serta bagi mujtahid juga dalam hal ini perlu atau harus memenuhi syarat-syaratnya tertentu.
Macam-Macam Ijtihad
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr Ad-Duwalibi maupun Dr Wahbah Zuhaili, bahwa Ijtihad ada tiga macam, yakni :

1.      Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hokum-hukum syariah dan nash-nash Syar’I (yang member syariat yang menentukan syariat).
2.      Ijtihad Qiyasi, yaitu meletakkan hokum-hukum syari’ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalan mengggunakan Qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hokum Syar’i.
3.      Ijtihad Ishtishlahi, yaitu meletakkan hokum-hukum syari’ah untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dengan menggunakan Arra’yu yang disandarkan pada istishlah.
            Arra’yu sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat adalah suatu perbuatan yang dianggap maslahat oleh mujtahid dan lebih dekat kepada jiwa Tasyri’ Islam tanpa melihat apakah di situ ada pokok tertentu bagi suatu peristiwa yang terjadi atau tidak.
Mujtahid dan Syarat-Syaratnya
            Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang syarat-syarat mujtahid, demikian pula sebaliknya yaitu berbicara tentang syarat-syarat orang berijtihad tidak lalin berbicara tentang syarat-syarat ijtihad.

Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Al-Musytasyfa menyatakan bahwa untuk berijtihad harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1.      Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dhonny dalam hal-hal syara’, mendahulukan apa yang wajib didahulukan, dan membelakangkan apa yang wajib dikemudiankan.

2.      Orang yang adil, menjahui segala maksiat yang mebuat tercela sifat dan sikap keadilan (‘adalah), hal ini mengingat karena syarat ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang tidak mempunyai sifat adil yang demikian, fatwanya tidak boleh menjadi pegangan. Adapun sifat yang tidak adil bagi dirinya sendiri, artinya fatwa atu ijtihad itu untuk dirinya sendiri, sifat adil tidaklah menjadi halangan. Artinya di dalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja untuk berijtihad untuk dirinya sendiri dan fatwanya menjadi pegangan bagi dirinya sendiri.
Sedangkan Asy-Syathibi menyatakan bahwa seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila ia memiliki dua sifat:
1.      Mengerti dan paham akan tujuan-tujuan syari’at dengan sepenuhnya, sesempurnanya, secara keseluruhannya.
2.      Mampu melakukan istinbath hukum berdasarkan paham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari’at tersebut.
Tingkatan Mujtahidin
1.      Mujtahid Mutlaq
     Yaitu Seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat pada madzhab apapun. Bahkan justru menjadi pendiri madzhab sebagaimana ke-empat imam madzhab : Khanifah, Maliki, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, juga Ibnu Hasmin. Dll
2.      Mujtahid Muntashib
     Yaitu seseorang yang memiliki syarat-syarat untuk berijtihad. Akan tetapi ia menggabungkan diri kepada sesuatu, kepada sesuatu madzhab. Dengan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh imam madzhab itu.

B.     Taqlid
Pengertian Taqlid
        Kata taqlid adalah bahasa Arab yang mempunyai asal kata kerja qallada yuqallidu taqlidan. Sedangkan secara definisi, para Ulama Ushul Fiqh pada umumnya menetapkan definisi Taqlid sebagai berikut :
“penerimaan perkataan seseorang, sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu”.

Para ulama mengelompokkaan definisi taqlid menjadi dua, yakni:
a.       Taqlid secara lughawi (bahasa) yakni: beramal atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pendapat itu.
b.      Taqlid dengan arti ‘urfi (popular) yakni : beramal atau mengikuti pendapat seseorang, sedang dasar dari pendapat itu tidak diketahui dengan sempurna.

            Ulama tersebut mewajibkan kaum muslimin melaksanakan taqlid ‘Urfi ini, sedang golongan awam (orang yang bukan mujtahid) diharuskan bertaqlid pada seorang mujtahid atau seorang yang alim yang meriwayatkan pendapat-pendapat mujtahid. Pendapat yang seperti inilah yang banyak diikuti di Indonesia.
            Adapun yang mempunyai kemampuan mengistinbathkan hokum (mujtahid), mereka dilarang bertaqlid dengan arti bahwa tidak boleh mengikuti langsung seorang ujtahid, tetapi harus dipikirkan terlebih dahulu untuk mengetahui sampai dimana kebenaran tersebut, jika benar diikuti jika salah ditinggalkan.

Jadi menurut Ulama Ushul ada dua hal yang terdapat dalam taqlid yaitu :
1.      Menerima atau mengikuti perkataan orang lain.
2.      Perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits atau tidak.

            Pendapat para Ahli Fiqh ini hampir sama dengan pendapat Imam Al-Ghozali, Asy-Syaukani dan Ash-Shan’aniyang menegaskan bahwa taqlid itu ialah menerima atau mengamalkan pendapat orang lain yang tidak disertai atau tidak diketahui alasan (dasar hujjahnya) yang berasal dari Al-Qur’an.
            Sekalipun para Imam mujtahid tidak menghiraukan orang bertaqlid terhadap pendapat mereka, namun sementara Ulama muta’akhirindalam kaitan bertaqlid kepada Imam, terlebih dahulu membagi kelompok masyarakat menjadi dua golongan, yaitu:
1.      Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada pendapat salah satu dari keempat madzhab yang sudah ada sampai sekarang ini.
2.      Golongan yang memenuhi syarat-syarat Ijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama yang berpendapat demikian.

Hukum taqlid
Ada tiga macam taqlid yaitu :
1.      Taqlid yang haram, yang terdiri  atas tiga macam yaitu:
a.       Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang / orang terdahulu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya.
c.       Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan orang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat tersebut salah.

2.      Taqlid yang diperbolehkan.
      Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hokum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan/suatu peristiwa, dengan syarat bahwa yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran tentang masalah yang diikuti tetrsebut. Dengan kata lain bahwa taqlid hanya untuk sementara saja. Seandanya pendapat mujtahid yang diikuti tersebut memang mempunnyai dasar yang benar, maka pendapat itu boleh diikuti. Namun, bila pendapat mujtahid itu memunyai alas an yang tidak benar, maka pendapat itu harus ditinggalkan.

3.      Taqlid yang diwajibkan.
Wajib bertaqlid kepada yang perkataannya dijadikan sebagai Hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah.

            Syarat-Syarat Taqlid
a.      Syarat pada orang yang bertaqlid 
Yang diperbolehkan bertaqlid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara mencari hukum syari’at ia boleh mengikuti orang pandai dan mengamalkannya. Sedangkan orang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum-hukum syari’at, maka harus berijtihad sendiri, bila waktunya masih cukup. Tetapi bila waktunya sudah sedikit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya (dalam soal-soal ibadah) maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.


b.      Syarat yang di Taqlidi
           Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah : Hukum yang berhubungan dengan Syara’. Dalam Hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orng lain, seperti: mengetahui adanya dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal, karena itu tidak ada gunanya bertaqlid pada orang lain.
C.     Talfiq
Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa artinya menyamakan atau merapatkan 2 tepi yang berbeda, seperti perkataan ( تلفيق الثو ب ). Artinya: Mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Talfiq ialah mengambil atau megikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.
            Pada dasarnya talfiq dibolehkan oleh agama selama tujuan pelaksanaan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat-pendapat itu.
Dasar Hukum Talfiq

Mayoritas ulama’ fiqh dan ushul fiqh berpendapat bahwa talfiq boleh dilakukan  dalam mengamalkan sesuatu, hal ini didasari oleh tidak adanya suatu nash (al-Qur’an dan Hadits) yang menyatakan bahwa talfiq dilarang. Di samping itu, Rosulullah saw. ketika berhadapan dengan dengan dua pilihan yang dibenarkan agama selalu memilih yang paling mudah dan ringan (HR. al-Bukhori, at-Tirmidzi, dan Malik). Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT adalam surat al-Baqarah (2) ayat 185yang artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Dan dalam ayat lain Allah SWT berfirman:……..”dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam gama suatu kesempitan……..” (QS.22:78)


III. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
Ø  Ijtihad adalah bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedangkan apabila kita meneliti makna kata jahada artinya ialah mencurahkan segala kemampuan.
Ø  Kedudukan Ijtihad
1.      Fardu ‘ain
2.      Fardu Kifayah
3.      Sunnah
Ø  Macam-macam Ijtihad
1.      Bayani
2.      Qiyasi
3.      Isthilahi
Ø  Syarat Mujtahid
1.      Mengetahui Ilmu Syara’
2.      Adil
Ø  Tingkatan Mujtahid
1.      Mutlaq
2.      Muntashib
v  Taqlid adalah penerimaan perkataan seseorang, sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
v  Hukum taqlid
1.      Haram
2.      Diperbolehkan
3.      Di wajibkan
v  Syarat Taqlid
1.      Syarat yang bertaqlid
2.      Syarat yang di Taqlidi
*      Talfiq adalah menyamakan atau merapatkan 2 tepi yang berbeda.
*      Dasar Hukum Talfiq
Mayoritas ulama’ fiqh dan ushul fiqh berpendapat bahwa talfiq boleh dilakukan  dalam mengamalkan sesuatu.

IV.  Penutup
            Demikanlah makalah kami tentang mata kuliah ushul fiqh. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami di kemudian hari.


DAFTAR PUSTAKA

Ameenah Bilal Philips, Abu. Asal Usul dan Perkembangan Fiqh Analisi Historis atas Madzhab, Doktrin dan Kontribusi. Bandung: Nusa Media. 2005
Amiruddin, Zen. Ushul Fiqh . Yogyakarta: Teras. 2009
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Van Hoeve, 2003
Dr. Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.2004
Hanafie . A . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma. 1993
Kamal Muchtar, dkk. Ushul Fiqh Jilid II. Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf. 1995
Uman, Khoirul dan Ahyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Bandung: CV Pustaka setia. 2001